17.10.08

Pria itu berkata padaku

Pria itu berkata padaku, “Aku sudah capek. Aku mencari yang benar-benar siapa untuk aku dan membuat aku juga merasa siap untuknya...” Dengan menghela nafas, ia menatap wajahku. Dari matanya aku melihat pantulan perasaanku sendiri. Perasaan yang begitu kuat mencengkeram, sehingga aku kadang merasa sesak. Tidak bisa bernafas. Di mata bening hitam itu aku tidak hanya melihat rasa sayang, tapi juga rasa khawatir. Kekhawatiran? Benarkah di sana aku melihat rasa khawatir? Bagaimana mungkin pria yang selalu terlihat sangat percaya pada dirinya sendiri itu merasa khawatir. Apakah dia merasa tidak aman? Apa yang membuat dia merasa seperti itu? Akukah, karena aku, penyebabnya? Apa dia tidak yakin padaku? Hufff... mana mungkin. Aku pikir cuma aku yang selalu merasa seperti itu, khawatir, cemas, tidak yakin, tidak percaya dia akan selamanya bertahan denganku. Takut suatu saat nanti ketika rasa bosan datang, dia hanya akan meninggalkan aku di belakang punggungnya. Tak lagi mengijinkan tangannya kurangkul, berjalan disampingnya. Pria itu menghela nafas lagi, seakan ada beban yang ditanggungnya. ”...sekarang aku sudah siap. Benar-benar merasa siap. Dan aku sudah menemukan orang yang juga telah siap untuk aku. Aku tidak mau menunda lagi. Aku sudah capek mencari. Aku mau berhenti. Dan sekarang aku di depan kamu. Meminta kamu mempertimbangkan untuk juga berhenti mencari. Aku meminta kamu sekarang untuk hanya melihat aku saja. Tidak ada yang lain, tidak ada dan tidak boleh ada,” tandasnya. Aku tercenung, masih tidak percaya dengan pendengaranku. Are you kidding me? Kemana kamu selama ini? Apa kamu tidak sadar selama perjalanan ini aku selalu hanya memegang tangan kamu, berjalan disisimu, memandang hanya ke kamu. Apa tidak pernah kamu sadari itu? Apa kamu tidak peka dengan itu? Tidak menyadari untuk apa aku bertahan menunggu, ketika aku masih menggenggam tangan kirimu, kamu menyalami tangan gadis lain dengan tangan kananmu. Membuatku menangis bertahun-tahun dalam penantian, siapa sebenarnya aku dihatimu? Dan sekarang kamu meminta agar aku berhenti? Agar aku hanya melihat kamu. Sudah lama aku berhenti mencari. Sejak pertama aku berjumpa dengan bangsat yang mampu membuat hatiku berdarah dan sekaligus mengeringkannya. Bagaiman mungkin kamu menyia-nyiakan perasaanku selama ini. ”Aku harap kamu mau, aku benar-benar berharap. Aku tidak mau lagi mengetes perasaanmu. Sudah seharusnya aku tidak mengabaikan perasaanku sendiri hanya karena aku tidak percaya bahwa kamu juga memilikinya. Setidaknya sebesar apa yang aku miliki ke kamu. Karena aku takut kamu akan ketakutan jika aku menunjukkan apa yang aku rasakan. Dulu kamu masih begitu polos dan muda, dan aku takut kamu akan membenciku ketika aku menuntut kamu membalas aku. Aku ngeri dengan perasaanku sendiri.” Dia memandangku dengan dua bola mata tegas memandang lurus ke arahku, membuatku merinding. ”Itu sebabnya aku berusaha membuatmu nyaman denganku. Menunggu dengan sabar ketika akhirnya kamu bisa menyesuaikan diri denganku. Sekarang bisa kulihat perasaan yang ada dalam dirimu, kamu akhirnya bisa merasakan apa yang kurasakan dengan rasa yang bertumbuh dewasa,” urainya panjang lebar, membuatku semakin tak mengerti. ”Membuatku yakin sekarang saatnya. Kamu sudah siap, benar-benar siap untuk aku. Dan membuat aku tahu aku juga sudah siap. Aku memintamu saat ini. Jadilah seseorang yang mendampingi aku selamanya. Yang menatap aku saja, dan bukan pria lain. Yang bisa menerima curahan perasaanku tanpa khawatir kamu akan menjauh. Karena memang untuk kamulah aku tahan semua ini. Aku memintamu berhenti mencari dan mulai sekarang hanya memegang tanganku. Berjalan bersamaku. Menciptakan dunia yang dikelilingi kobaran api, menghangatkan tubuh kita, dan membuat tidak satupun berani masuk menggangu.” Dengan tangan-tangan terjulur ia memegang bahuku dengan keras, mengakibatkan aku meringis kesakitan. ”Apa maksudmu?” Kutatap pria itu, masih berusaha mencerna kalimatnya. Sekali lagi pria itu menghela nafas, ” Aku menginginkanmu sekarang naS, menjadi istri, teman, kekasih, ibu anak-anakku, dan segala gelar yang pantas untuk disandang wanitaku.” ”Kenapa. Harus. Aku?” mataku mulai berair, ini tidak mungkin! ”Kenapa? Bukannya tadi sudah kujelaskan?” Ia menatapku bingung. ”Ya, tadi kamu sudah menjelaskan panjang lebar, tapi sumpah tak satupun yang aku mengerti,” aku pusing mencerna ini semua. ”Holy Ghost! should i explain it clearly?” Mukanya memerah. “Ya! katakan dengan bahasa sederhana. Make it simple,” tuntutku tegas. Wajah pria itu semakin merah. Tuhan, pria yang biasa terlihat begitu percaya diri, mengapa sekarang tampak begitu gugup untuk hal seperti ini. Aku tetap tidak berbicara, menunggu. Dia menatapku, tapi aku menolak menolongnya. Akhirnya setelah jeda yang lama dia bersuara, ”Aku...aku... Tidak gampang bilang ini, tiga tahun aku menunda, sekarang ketika harus dikeluarkan, aku...” Dia menatapku canggung. ”Ya?” aku tetap menunggu. ”Karena aku cinta kamu naS. Tiga tahun...tiga tahun aku berusaha mengendalikan perasaanku. Terlalu sakit tapi harus. Karena aku ingin kamu bisa menyesuaikan diri dengan kegilaan ini. Aku terlalu mencintaimu sehingga aku harus belajar menghandle emosi ini. Aku takut kamu takut ketika aku tunjukkan semuanya, kamu akan membenciku,” Dia membuang pandangan, sekan menyembunyikan kerapuhan. ”Tapi sekarang aku sudah siap karena kamu sudah siap. Aku yakin kamu juga cinta aku. Selama ini aku terus memperhatikan dan berharap, apa yang aku yakini tidak salah sama sekali.” Matanya kembali mencari mataku. Sorot yang sama, ya sekarang aku yakin, sorot mata itu cerminan rasa khawatirnya. Dia cinta aku, dia ragu terhadap perasaanku, dia menderita karena aku, dia menyiksa dirinya demi aku. Benarkah? Bisakah itu dipercaya? ”Kamu tidak mengigau kan? Bukan karena kamu lelah karena gagal terus dalam mencari. Dan aku pilihan terakhir, yang tersisa untuk kamu?” Aku kembali menyuarakan rasa takutku. Dengan segera tangannya memegang bahuku dan mengguncangku dengan keras. Wajahnya tampak tegang. ”Jangan pernah katakan itu lagi! Tidak pernah sekalipun kamu menjadi pilihan terakhir, yang tersisa. Kamu, selama ini tokoh utamanya cuma kamu. Apa kamu tidak mengerti rasanya sakit? Kamu cuma sejauh jarak tanganku ketika aku merentangkan salah satunya, tetapi aku tidak bisa merangkulmu, merengkuhmu, atau sekedar menghiburmu ketika kamu menangis!” Menangis? Apa dia tahu juga selama ini aku menangisi dia? ”Ya aku tahu. Dan aku minta maaf untuk semua itu. Aku tak bermaksud. Aku juga sakit melebihi rasa sakitmu. Tapi aku harus bisa menahan diri, demi kamu, menunggu kamu dan perasaanmu yang akan dewasa terhadapku.” Dua bola mata bening hitam pria itu menatapku lurus-lurus. ”Katakan ya, katakan saja iya, dan aku akan menebus tahun-tahun yang hilang, cinta yang tersia-sia, kerinduan yang sepi, dan rasa tidak aman yang nelangsa. Biar aku membuktikan semuanya. Cinta ini sudah terlalu lama menunggu untuk dibuktikan, dicurahkan. Aku tahu kamu sudah siap. Kamu tak akan takut pada cintaku, karena kamu sudah dewasa untuk menerimanya,” dia berkata lagi. Aku bengong. Otakku terasa kosong, can not thinking, almost dying. Benarkah… benarkah ini Tuhan? Lututku gemetar. Mataku basah. Hampir terkulai ke depan. Tapi tangannya sigap menangkapku. Dan segera membawaku ke dalam pelukannya. Hangat… Tuhan… hangat sekali. Aku sama sekali tidak merasa sakit, meski pelukannya nyaris membuatku tidak bisa bernafas, dan kerasnya pelukannya seakan sanggup merontokkan rusukku. Aku terlalu...tidak percaya. Dia mencium rambutku, mengubur hidungnya disitu. Berbisik dengan suara parau, ”katakan iya naS, katakan begitu, tolong bantu aku, agar aku yakin besok aku masih bisa bangun dan bergerak, tolong...” suara serak pria itu membuat aku mengendorkan pelukannya, mendorong dadanya agar sedikit merenggang. Dengan teliti aku memperhatikan wajahnya. Mata yang biasa terlihat tenang itu, kini seperti berombak, bahkan menjelang badai. Basah dan merah. Apakah dia menangis? Apa tangisnya karena aku? Tuhan...katakan semua ini benar, karena jika tidak, tak perlu menunggu besok, sekarang juga aku akan mati. ”Ya, jawab iya,” suaranya semakin serak. Dia menatapku, menyihirku dengan mata badainya. Akhirnya aku mengangguk. Apa lagi yang bisa kukatakan. Kupikir kata-kata tidak bisa lagi mewakili perasaan ini. Kelegaan yang membanjiri hatiku hanya bisa diimbangi dengan tangan yang merentang lebar meraihku kembali, memelukku kencang, mengubur hidungnya kembali di rambutku, memasang ’that special thing with bling-bling’ itu di jariku, dan terakhir, sambil menatapku, ia menundukkan kepalanya ke arahku untuk..... Mencium hangat keningku.

No comments:

Post a Comment